Monumen Nasional, atau lebih dikenal sebagai Monas, adalah salah satu ikon paling terkenal di Jakarta, Indonesia. Monumen ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol kemerdekaan, tetapi juga sebagai karya arsitektur yang mencerminkan semangat perjuangan bangsa.
Ide awal pendirian Monumen Nasional berasal dari orang biasa yang namanya tak pernah disebut-sebut atau bahkan ditorehkan dalam prasasti. Ia adalah Sarwoko Martokoesoemo, yang menggagas pembangunan sebuah Monumen Nasional untuk dibangun tepat di depan Istana Merdeka.
Pembangunan Tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi penerus bangsa.
Lalu, siapa sebenarnya yang mendesain Monas di masa lalu? Ternyata, arsitek Monas adalah Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono.
Frederich Silaban
Frederich Silaban adalah seorang arsitek asal Sumatera Utara yang juga merupakan arsitek pembangunan Masjid Istiqlal. Dalam perencanaan pembangunan Monas, Presiden Soekarno membentuk komite nasional dan mengadakan sayembara desain pada tahun 1955 dan tahun 1960. Dari sayembara ini satu rancangan desain karya Frederich Silaban, dipilih oleh komite nasional. Namun, setelah ditunjukkan kepada Presiden Soekarno, desain milik Silaban belum memenuhi keinginan Soekarno kala itu. Presiden Soekarno kemudian meminta Silaban mendesain ulang Monas sesuai dengan konsep pemikiran Soekarno yang menginginkan Monas berbentuk Lingga dan Yoni.
Silaban merevisi desainnya, tapi hasilnya adalah rancangan untuk monumen yang begitu besarnya hingga akan memakan dana terlalu besar untuk kondisi keuangan negara yang saat itu tidak kondusif. Silaban tidak bersedia mendesain monumen yang lebih kecil, bahkan menyarankan agar pembangunan ditunda saja sampai ekonomi Indonesia membaik. Soekarno kemudian meminta arsitek RM Soedarsono untuk melanjutkan desain Silaban.
R.M Soedarsono
R.M. Soedarsono kemudian juga tercatat sebagai arsitek Monas. Dalam rancangannya, Soedarsono mencoba menginterpretasikan keinginan Presiden Soekarno tentang Lingga dan Yoni, serta memasukkan unsur 17, 8, dan 45 (lambang proklamasi) ke ukuran monumen. Setelah desain disetujui, proses pembangunan Monas dimulai pada tahun 1961 dan diresmikan pada tahun 1975. Selama periode tersebut, Soedarsono menghadapi berbagai tantangan, termasuk kendala finansial dan teknis. Namun, dengan ketekunan dan komitmen yang kuat, ia berhasil menyelesaikan proyek ini tepat waktu. Monas menjadi simbol kebanggaan bangsa dan menarik perhatian pengunjung dari seluruh dunia.
Kini, Monas tidak hanya berfungsi sebagai monumen, tetapi juga sebagai ruang publik yang menyediakan berbagai kegiatan sosial dan budaya. Monumen ini sering digunakan sebagai lokasi upacara kenegaraan, perayaan Hari Kemerdekaan, dan acara-acara lainnya. Soedarsono berhasil menciptakan ruang yang bukan hanya fisik, tetapi juga memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Indonesia.